Cerpen Koran Tempo, 24 Juni 2012 – oleh Pierre Mejlak
Ilustrasi: Yuyun Nurachman (Tempo)
KALI ini Livia membangun sebuah kota. Ini kota pertama setelah sebelumnya dia membuat sebelas pulau berturut-turut yang kini dikumpulkannya di dalam sebuah wadah merah lembut yang dia ambil dari laci di samping ranjangnya ketika ayahnya pergi minum kopi pada petang hari meninggalkannya sendirian. Livia mengeluarkan sebuah peta dan menunjuk suatu tempat di dalamnya. Nah, kini dia sampai ke sebuah toko cokelat yang harum dan penuh bubuk cokelat. Lalu dia tiba di sebuah ruang santai yang dilengkapi televisi raksasa. Buru-buru dia melesat ke pintu depan sebelum mereka memergokinya dan mengiranya maling iseng. Terkadang, tahu-tahu dia sudah berada di tengah jalan raya, dikelilingi mobil dan sepeda motor.
Di kota itu kau akan menemukan apa pun yang mungkin kau pikirkan. Untuk anak-anak, ada sekolahan yang dikelilingi taman dan pepohonan apel. Untuk para remaja, ada sebuah kampus kecil yang dipenuhi para dosen. dokter. insinyur, dan arsitek. Untuk orang-orang sakit, ada sebuah rumah sakit. Untuk mereka yang ingin bekerja, ada pabrik-pabrik yang dikitari oleh Iadang-ladang dengan lahan terbuka yang memungkinkan perluasan untuk menambah lapangan kerja. Untuk para penyuka olahraga, ada lapangan sepak bola dengan beberapa arena kecil mengitarinya untuk berrnain bola voli, basket, dan tenis. Lalu ada sebuah gereja dan beberapa toko. Ada sebuah toko roti. Ada bengkel tukang kayu. Toko kelontong. Jalan-jalan dan jembatan-jembatan. Dermaga dengan perahu-perahu merapat ke tepi. Kantor bea cukai dan kantor pos. Kantor polisi. Tanah pertanian dan binatang ternak. Bandara, terminal bus. Dan yang utama. ada banyak rumah. Rumah-rumah kecil untuk mereka yang tinggal sendirian, Rumah-rumah susun bagi mereka yang tak mau atau tak mampu mengeluarkan banyak uang. Dan runah-rumah besar untuk orang-orang kaya dengan anggota keluarga yang banyak, dan di sana para Ibu dan Ayah menjalani kehidupan yang makmur sentosa. Baca lebih lanjut →