MENJEMPUT MAUT DI MOGADISHU

Cerpen Republika, 1 Juli 2012 – oleh Mashdar Zainal

Menjemput Maut di Mogadishu

Da’an Yahya / Republika

Ketika Leyla memutuskan untuk mengungsi, meninggalkan kampong halamannya, perih yang melilit perutnya kian menjadi-jadi. Terlampau perihnya, hingga seluruh pandangannya terasa buram. Leyla seperti melihat ribuan kunang-kunang berlesatan mengitari kepalanya. Selanjutnya, ia menyebut kunang-kunang itu sebagai sang maut. Sang maut yang selalu menguntitnya dan sewaktu-waktu siap mengantarnya menyusul almarhum suaminya.

Di kampungnya, Baydhabo, hujan terakhir turun sekitar tiga tahun lalu. Tanah-tanah menguning menyisakan debu. Pepohonan meranggas dan mati. Ternak-ternak kekurangan air dan akhirnya membangkai menjadi santapan burung nasar. Pada akhirnya para penduduk lebih memilih untuk mengungsi ke kamp di Mogadishu daripada mati kelaparan.

Leyla terus melangkah, menggendong anaknya yang kering seperti boneka kayu. Baca lebih lanjut

Dipublikasi di Republika | Tag | Meninggalkan komentar

RUMAH

Cerpen Inilah Koran, 1 Juli 2012 – oleh Lena Mariana

Rumah

Inilah / Salman Farist

BERKELEBAT sebuah sinar tampak menyelusup lewat jendela kaca depan rumahku. Meskipun tak begitu cerah, tapi cukup untuk membuat mata silau dan memantulkan sebuah bayangan lain ketika melihatnya. Menyilaukan dan sungguh memuakkan.

Tak jarang aku mengutuknya ketika hampir setiap satu menit sekali, sinar yang ternyata dimainkan oleh sekelompok anak bengal itu tertangkap oleh kedua mataku. Ketika aku toleh keluar, tidak terlihat siapapun, hanya cekikikannya saja yang kudengar.

Rupanya mereka menyelinap di balik pagar besi rumah tetangga. Bersembunyi, sedari tertawa-tawa merasa puas atas ulahnya. Aku geram, tongkat yang baru saja kuambil dari dalam laci meja ini seolah ingin segera melayang jatuh di depan hidung mereka. Atau barangkali hinggap di kedua tangan-tangan jahil itu. Baca lebih lanjut

Dipublikasi di Inilah Koran | Tag | Meninggalkan komentar

KOTA LIVIA

Cerpen Koran Tempo, 24 Juni 2012 – oleh Pierre Mejlak

Kota Livia

Ilustrasi: Yuyun Nurachman (Tempo)

KALI ini Livia membangun sebuah kota. Ini kota pertama setelah sebelumnya dia membuat sebelas pulau berturut-turut yang kini dikumpulkannya di dalam sebuah wadah merah lembut yang dia ambil dari laci di samping ranjangnya ketika ayahnya pergi minum kopi pada petang hari meninggalkannya sendirian. Livia mengeluarkan sebuah peta dan menunjuk suatu tempat di dalamnya. Nah, kini dia sampai ke sebuah toko cokelat yang harum dan penuh bubuk cokelat. Lalu dia tiba di sebuah ruang santai yang dilengkapi televisi raksasa. Buru-buru dia melesat ke pintu depan sebelum mereka memergokinya dan mengiranya maling iseng. Terkadang, tahu-tahu dia sudah berada di tengah jalan raya, dikelilingi mobil dan sepeda motor.

Di kota itu kau akan menemukan apa pun yang mungkin kau pikirkan. Untuk anak-anak, ada sekolahan yang dikelilingi taman dan pepohonan apel. Untuk para remaja, ada sebuah kampus kecil yang dipenuhi para dosen. dokter. insinyur, dan arsitek. Untuk orang-orang sakit, ada sebuah rumah sakit. Untuk mereka yang ingin bekerja, ada pabrik-pabrik yang dikitari oleh Iadang-ladang dengan lahan terbuka yang memungkinkan perluasan untuk menambah lapangan kerja. Untuk para penyuka olahraga, ada lapangan sepak bola dengan beberapa arena kecil mengitarinya untuk berrnain bola voli, basket, dan tenis. Lalu ada sebuah gereja dan beberapa toko. Ada sebuah toko roti. Ada bengkel tukang kayu. Toko kelontong. Jalan-jalan dan jembatan-jembatan. Dermaga dengan perahu-perahu merapat ke tepi. Kantor bea cukai dan kantor pos. Kantor polisi. Tanah pertanian dan binatang ternak. Bandara, terminal bus. Dan yang utama. ada banyak rumah. Rumah-rumah kecil untuk mereka yang tinggal sendirian, Rumah-rumah susun bagi mereka yang tak mau atau tak mampu mengeluarkan banyak uang. Dan runah-rumah besar untuk orang-orang kaya dengan anggota keluarga yang banyak, dan di sana para Ibu dan Ayah menjalani kehidupan yang makmur sentosa. Baca lebih lanjut

Dipublikasi di Koran Tempo | Tag | Meninggalkan komentar

MENARI DI DAYUNG SENJA

Cerpen Inilah Koran, 24 Juni 2012 – oleh Ana Marliana

Menari di Dayung senja

Inilah Koran

DEBURAN ombak yang saling berkejaran dihempas angin seolah sepasang sejoli yang sedang memadu cinta di malam pertamanya. Mereka berpadu dengan mesra. Saling berjabat, saling menyentuh, bersenda gurau, tertawa riang, bahkan seolah berbaring bersama dan masuk dalam mimpi indah bersama-sama pula.

Di bibir pantai senja itu, terdampar sebuah perahu nelayan. Perahu yang ikut menari kala tubuhnya terhempas ombak. Di ujung badan perahu kayu itu berdiri seorang anak perempuan berusia 7 tahun yang ikut pula menari bersama perahu yang ditumpanginya. Seorang anak berambut ikal sebahu, dengan kaus berwarna biru langit, memakai rok kuning selutut dengan motif bunga di sekelilingnya sesekali ikut menari, terhempas angin. Tubuhnya menghadap laut yang luas, matanya menerawang, seperti sedang mencari dan membayangkan tentang keberadaan ujung laut di hadapannya kini. Baca lebih lanjut

Dipublikasi di Inilah Koran | Tag | Meninggalkan komentar

BUNUH DIRI

Cerpen Suara Merdeka, 24 Juni 2012 – oleh Kun Himalaya

Bunuh Diri

Toto 2012 / Suara Merdeka

Badrowi hendak bunuh diri. Sudah berkali-kali dicobanya. Sekali, hendak diputusnya kontrak kehidupan pada seutas tali. Sayangnya, dahan yang disangkanya liat tak kuasa menahan tubuhnya. Dahan itu patah menjadi dua. Lain waktu Badrowi meminum baygon. Ketika cairan mematikan itu telah mulus melewati kerongkongannya, istrinya memergoki. Istrinya histeris dan berteriak-teriak macam orang gila. Sambil menangis istrinya menelepon Rumah Sakit. Tak berapa lama, raungan ambulans membelah malam. Supir ambulans yang gila kecepatan, berusaha mengejar nyawa Badrowi yang sudah sampai di leher.

Sayang seribu sayang, Dokter terbaik di Rumah Sakit itu belum pulang meski malam telah larut. Dokter yang berdedikasi itu sekuat tenaga bernegosiasi dengan Malaikat Izrail memperebutkan nyawa Badrowi. Dokter itu berhasil. Badrowi muntah-muntah. Semua cairan mematikan itu keluar sudah. Baca lebih lanjut

Dipublikasi di Suara Merdeka | Tag | Meninggalkan komentar